"Akh–!"
Natsuki memegangi kepalanya setelah sepatu kayu yang tidak lebih besar dari telapaknya mendarat disana. Matanya menangkap sekelompok bocah berlarian mendekat. Salah satunya memungut sepatu tadi kemudian berlari begitu saja sembari terkikik.
Apa yang lucu? Natsuki berasumsi anak-anak itu terlalu banyak mengonsumsi gula sehingga dibawah terik seperti ini mereka masih sempat tertawa.
Kejadian tadi membuatnya tersadar, disekitarnya cukup banyak warga yang lalu-lalang. Gadis-gadis nampak mengenakan gaun panjang sederhana dan bahkan beberapa diantaranya mengenakan mahkota bunga dikepala. Dari bahasa tubuhnya, mereka tengah berbahagia ditengah keramaian ini.
Pemuda pemudi dan orang dewasa membaur santai membawa gelas sembari bergurau. Apa ada perayaan? Interaksi baik antara satu sama lain menimbulkan perasaan hangat pada dada Natsuki. Ia seperti tengah berada diantara pertemuan keluarga, keluarga yang sangat besar tentunya.
Ditertawakan anak-anak atas kesialan memang menyebalkan namun keramaian ini tidak buruk juga.
Kepalanya melongak karena penasaran dengan pusat kerumunan yang berada lumayan darinya. Seolah meninggalkan ternak dan pekerjaan, orang-orang berkumpul di tanah lapang untuk menari mengitari kelompok pengiring musik.
Karena tidak begitu jelas, Natsuki memutuskan untuk mendekat. Musik yang mengiringi terdengar semakin keras, langkahnya juga semakin cepat.
Ditengah perjalanan, seorang gadis dengan gaun panjang nampak terbawa alunan menghampiri Natsuki. Dalam gerakan setengah menari, gadis tadi menyerahkan gelas kemudian meninggalkannya begitu saja
Gelas yang ada ditangannya serupa dengan apa yang orang-orang bawa. Setelah diperiksa rupanya hanya berisi air dengan sepotong lemon. Tanpa pikir panjang, Natsuki langsung mencicipi.
Rasanya tidak seperti apapun. Tidak seperti limun, bahkan tidak seperti air. Ditengah rasa bertanyanya perihal minuman, seseorang disamping tiba-tiba menyandarkan lengan pada bahunya.
Mengabaikan kebingungan pada isi gelas, Natsuki menoleh. Nampak seorang pemuda mengenakan kemeja panjang berwarna putih dilengkapi rompi biru gelap yang dieratkan dengan tali pada bagian dada.
Butuh beberapa waktu untuk tersadar bahwa pakaian pemuda ini terlihat mirip dengannya, hanya berbeda pada pemilihan warna rompi– miliknya berwarna cokelat pudar.
"Ah, mau kesana juga?" ucap pemuda biru gelap tadi sembari menatap kearah kerumunan yang menari.
Tanpa menunggu jawaban, pemuda ini merebut gelas dari tangan Natsuki– meletakkannya ditanah dan menarik Natsuki untuk bergabung kesana.
Hanya beberapa langkah sebelum masuk kedalam kerumunan bergerak itu, Natsuki tersadar dan mengambil kendali– menarik pemuda itu untuk berhenti.
"Jangan bercanda, aku tidak bisa menari!" pekik Natsuki yang kini mengeraskan suaranya agar tidak tertelan musik iringan.
Tanpa disangka, pemuda itu hanya menjawab pernyataan tadi dengan raut kebingungan dan gelak sekilas, "Kau ini, bicara apa?" ujarnya setengah tertawa.
Sebelum sempat kembali berkilah, Natsuki yang kebingungan sudah dipaksa bergabung dengan kerumunan menari. Kedua lengannya dikait oleh orang dikanan-kiri, membuatnya hanya bisa menggerakkan kaki.
Mau tidak mau, dengan terseok-seok Natsuki berjalan mengitari pengiring musik sembari menyelaraskan gerak kaki dengan yang lain.
Tarian kaki ini tidak sulit, pikirnya. Semakin lama gerakannya semakin cepat. Natsuki terbawa euforia sekitar, hasilnya Ia tertawa dan terus menari bersama orang dikanan-kiri dalam jalurnya.
Disamping Natsuki, pemuda biru gelap tadi sama bahagia dengannya. Natsuki memutuskan untuk mendekatkan wajahnya pada telinga pemuda itu dan bertanya,
"Kau–! Siapa namamu?!"
Meski tertelan alunan musik, ia dapat melihat pemuda tadi tertawa mendengar pertanyaan itu. Selesai dengan gelaknya, masih dalam gerak kaki dengan tempo cepat, pemuda tadi mendekatkan wajahnya ke telinga Natsuki,
"Aku inu masih Keito! Kau bercanda?!"
Bercanda? Bicara pemuda ini seolah mereka telah lama mengenal. Sibuk memikirkan kalimat yang terasa tidak sejalan dengan pemahamannya, gerak kaki Natsuki terkecoh– membuatnya menginjak kaki warga yang tengah menari disebelahnya. Alhasil mereka kehilangan keseimbangan.
Jatuh diatas tanah rumput mungkin tidak akan begitu sakit– pikirnya, namun rasa malu karena menghancurkan barisan orang yang menari dalam rotasi membuatnya tidak tahu wajah apa yang akan digunakannya nanti.
Sayangnya bukan sakit karena mendarat ke tanah yang ia rasakan. Begitu tubuhnya menyentuh tanah, Natsuki malah terhempas dalam ruang kosong. Sekitarnya menjadi gelap dan hening sedangkan ia mengapung begitu saja dalam kehampaan.
Indarnya serasa mati, kegelapan ini membuatnya sesak– Natsuki diserang ketakutan. Rasa takutnya pecah ketika sesuatu sesuatu mendekat. Terdengar seperti bunyi yang teratur dan berulang. Semakin lama semakin kuat.
Kini bunyi itu berada tepat ditelinganya, Natsuki tercekat. Instingnya mengatakan untuk bergerak. Hasilnya kini Natsuki bangun terduduk dan kebingungan mengamati sekitar.
Matanya menangkap meja belajar, selimut abu cerah dan nakas kecil disamping ranjang– ah, ia masih dikamarnya. "Untung saja tidak tidur sambil berjalan" gumam Natsuki.
Matanya langsung tertuju pada ponsel yang berada disamping bantal. Dalam engahan nafas Natsuki mengumpat, alarm sialan. Berakhir dengan ia yang mematikan asal bunyi-bunyian tadi kemudian menatap jam dinding di sudut kamarnya.
Masih pukul enam pagi. Untuk pertama kalinya, Natsuki merasa janggal setelah terbangun diatas ranjang. Apa karena ini pertama kalinya dalam dua minggu ia tidak terbangun di ruang tengah?
Padahal inilah yang ia inginkan, tetap berada dimana ia tidur malam tadi. Sindrom tidur sambil berjalannya semakin tidak masuk akal, ia rasa ini sudah saatnya untuk mengunjungi dokter.
Namun bukan itu– tetap saja rasanya ada yang hilang. Sekilas dadanya terasa kosong. Yakinnya semalam ia tidak berada disini, ia disuatu tempat bersama seseorang yang tidak begitu jelas diingatan.
Ah, persetan. Lagian pagi ini ia harus menghadiri kuliah pagi, lebih baik bersiap. Rasionalitas mengalahkan segala rasa bertanya miliknya, membuatnya lupa akan rasa janggal yang menyelubungi. Ia sudah bertekad untuk tidak akan dipermalukan lagi karena terlambat.
Dinyalakannya mesin pembuat kopi kemudian ditinggalkan untuk pergi menata diri. Meski sudah didalam kamar mandi, Natsuki masih sempat menelaah puluhan notifikasi pada ponselnya.
Pengingat kelas, pengingat tugas, alarm yang ia lewatkan, iklan-iklan tidak berguna– tidak ada notifikasi dari orang yang ia harapkan, ibunya.
Tidak heran, keluarganya sudah berantakan sejak adiknya sendiri selingkuh dengan pacar baru ibunya. Ayahnya? Ia tidak ingat dimana.
Bagi Natsuki menjadi pengganjil diantara dua orang yang bermusuhan itu sungguh tidak menyenangkan. Mungkin ibunya masih marah karena Natsuki memilih untuk tinggal sendiri dengan alasan studi, meninggalkan ibu dan adiknya dalam satu atap yang sama.
Untuk mengalihkan rasa kecewa, musik santai ia jadikan teman menata diri sekaligus mengumpulkan motivasi pagi ini.
Belum sempat meraih sikat gigi, Natsuki terkejut akan sesuatu. Dihadapan cermin ia menyisir rambutnya kebelakang dengan asal-asalan– menampilkan luka memar pada dahinya.
Sebentar saja mencermati memar tadi, seketika rasa kosong yang sempat menjalar pada dadanya kembali lagi, kali ini rasanya semakin menjadi-jadi. Seolah telah mengingat apa yang terlupa, Natsuki mendecih dan menghembuskan nafas berat,
"Keito... siapa Keito? " gumamnya pada diri sendiri.