Sesuai dengan apa yang sudah mulut-mulut kotor itu katakan, Hokuto memang gila. Dia tidak pernah sekalipun memprotes kala bajunya sengaja diberi lumpur, diberikan belepotan tanah atau bahkan ujung bibirnya dibuat berdarah. Simpati dan empati dari orang-orang itu malah membuat Hokuto terlihat muak dia setiap kali dipanggil guru BK tak pernah menyahut dengan benar sehingga tindakan yang diberikan tak pernah sempurna, Hokuto itu tinggal sendiri tanpa orang tua, dia pernah sekali hendak dipanggilkan orang tua oleh guru tapi Hokuto terlihat tidak terima sehingga hal itu tidak terjadi.
Namun, menurut Hokuto sendiri dia tidak gila .
Katakanlah kala itu dirinya tiba-tiba diberikan sebuah pemandangan yang tak pernah dilihat; seorang pemuda lebih tua satu tahun baru pindah ke sekolah tempatnya menuntut ilmu. Rumor beredar kalau pemuda itu tidak naik kelas makanya dia dipindahkan dan tetap berada di kelas yang sama dengan Hokuto ketika dirinya seharusnya berada di kelas atas, tapi justru dalam hati Hokuto bersyukur karena ia bisa melihat wajah itu lebih lama di balik poni yang menutup mata.
Dia hampir tidak pernah fokus ketika pelajaran dan Hokuto pikir ini karena dirinya sudah mempelajari hal itu sebelum ini tapi ketika dipanggil ke depan untuk mengerjakan ia dengan menggemaskan terlihat seperti anak TK yang baru saja dijatuhi hukuman karena melanggar aturan sekolah. Hokuto diam-diam tertawa tanpa suara karena itu dan ia pun menjadi tertarik lebih lanjut, tertariknya itu sampai ke hal gila yang dikatakan orang-orang dimana ia secara sengaja (mereka pikir tidak sengaja) menjatuhkan air pel tepat ke sepatu pemuda lebih tua. Suara-suara panik masih terdengar jelas di telinga Hokuto dan pemuda itu pun turut melakukan hal yang sama, berpura-pura panik tapi dia diam-diam tersenyum saat membersihkan sekitaran yang lebih tua.
Setelah itulah perundungan pada Hokuto dimulai. Memang bukan dilakukan langsung oleh pemuda yang dia inginkan, tapi dia tahu bahwa otak dari semua perundungan itu adalah pemuda tersebut. Kroco-kroconya yang kotor dan bau sering sekali menjilat kaki pemuda yang lebih tua sehingga Hokuto suka muak melihatnya bahkan ketika pemuda itu tidak merespon apa-apa.
“Oh astaga! Matsumura, kau benar-benar tidak apa-apa? Apa yang dilakukan Kyomoto- san dan gengnya semakin parah saja padamu,” komentar salah satu teman sekelas Hokuto saat mereka tiba di kelas di saat yang bersamaan; melihat meja Hokuto yang sudah penuh dengan coretan, dia malah tersenyum miring sembari menunduk memikirkan sepagi atau semalam apa kelompok Kyomoto sampai mencoret-coret bangkunya dengan niat.
“Tidak apa-apa.”
“Huh?”
Suara Hokuto itu pelan, ditambah dia sedang menyembunyikan nada bicaranya dari teman sekelas itu jadi semakin pelan. Akhirnya, Hokuto pun tersenyum pada teman kelasnya itu terlihat tulus tapi dianggap sebagai sebuah senyum paksaan.
“Tidak apa-apa,” ulang Hokuto mengundang tatapan iba dari gadis di depannya.
Bangku itu pun dibersihkan dengan telaten oleh Hokuto dibantu oleh gadis teman sekelas mereka dan setelah itu kelas pun mulai diisi banyak orang termasuk dari kelompok Kyomoto. Hokuto yang mejanya sudah cukup bersih itu berlaku seolah sebelumnya tidak terjadi apa-apa, dia pun mengikuti pelajaran dengan baik mengabaikan gangguan-gangguan yang dilakukan oleh kelompok Kyomoto yang salah satunya duduk di belakang dan sebelah Hokuto.
Dia terganggu, sangat. Akan berbeda cerita sebenarnya kalau yang melakukan adalah ketua mereka, Kyomoto Taiga yang duduknya di tengah dan cukup jauh dari jangkauan Hokuto. Dia mungkin bukan hanya membiarkan tapi juga merespon bahkan berlaku seolah dirinya terganggu apapun untuk memuaskan hasrat kebencian dari Taiga itu. Hokuto menopang dagu sembari dia berfokus pada pelajaran meski beberapa saat dirinya berfokus juga pada Taiga untuk melihat apa yang dilakukan oleh pemuda itu sampai sebuah tulisan membuat Hokuto tertegun karena langsung diarahkan padanya.
‘Istirahat nanti ikuti aku.’
Tentu, batin Hokuto menutup mulutnya dengan tangan yang menopang dagu. Meskipun dia harus berhadapan juga dengan kroco-kroco Taiga yang kotor, selama bisa melihat wajah indah itu dirinya tidak masalah.
Bau tembakau tidak buruk juga , Hokuto berpikir seraya dagunya diangkat untuk menatap langsung ke arah Taiga yang tadi mengepulkan asap rokok ke wajahnya, pelanggaran besar Taiga melakukan hal itu pada Hokuto karena pemuda itu bukannya ingin mundur tapi dia malah menikmati. Bau napas dari Taiga dicampur oleh bau tembakau adalah hal memabukkan bahkan mungkin alkohol pun yang tidak pernah Hokuto coba akan terasa berbeda.
Dirinya sudah melalui hal-hal yang sering dilakukan oleh kelompok Kyomoto ini. Bajunya sudah bukan berwarna putih lagi tapi coklat, dia bahkan tidak tahu apakah warna sebenarnya baju yang tengah dia kenakan, tadi Taiga sempat menampar Hokuto karena ketahuan Hokuto mencuri-curi pandang saat di kelas sampai pipi Hokuto terasa panas; ujung bibirnya pun berdarah sebab tidak hanya sekali tapi berkali-kali dia lakukan hingga Hokuto tersungkur. Dia hanya bisa tersenyum karena itu, Taiga yang merokok ini merupakan salah satu pemandangan luar biasa yang Hokuto harapkan selalu dia lihat seumur hidupnya.
Tapi sayang sekali, merokok merupakan hal yang buruk.
“Menjijikkan.”
Akhirnya, perkataan pertama Taiga setelah dia mengusir semua bawahan nya dengan alasan bahwa kelas sebentar lagi dan dia butuh seseorang untuk menjadi backing ketika ditanya dia ada dimana ketika tengah menghajar Hokuto sampai mampus.
“Untuk apa kau menatapku seperti binatang seperti itu? Apakah otakmu sudah rusak?” Taiga kembali berkata cukup menyakitkan bagi siapapun yang mendengar ucapannya tapi tidak dengan Hokuto; tidak dengan Matsumura Hokuto yang merasa malah bahwa kehadiran dirinya sudah disadari secara penuh oleh Taiga.
“Sejak kedatanganmu pun otakku sudah tidak berfungsi.”
Dan satu tamparan lagi melayang, tapi kali ini dengan sepatunya itu menginjak bahu Hokuto agar dia tidak dapat berdiri lagi lebih lama membuat sang empu merasa bahwa dia sudah menelan lumpur. Luka di ujung bibirnya pun tampaknya akan infeksi parah karena terkena kotoran terus menerus, tapi semua pikiran itu langsung menghilang ketika bau tembakau tercium lagi oleh indra penciumannya.
“Yang kau hisap itu narkoba— Ouch! Aku hanya bertanya!” Hokuto mengaduh ketika Taiga dengan sengaja menginjak dirinya lebih keras lagi, lebih menekan lagi pada tanah dan lebih membuatnya semakin sulit bernapas karena harus berhadapan dengan tanah. Bisa-bisa hidungnya pun patah dan makin sulit untuk berobat nanti.
“Tidak ada yang memberimu hak berbicara.” Taiga berucap dengan dingin, mengabaikan fakta bahwa dia sebentar lagi akan membuat orang lain sekarat dengan kelakuannya yang dingin dan terkesan tidak punya hati. Pemuda yang lebih tua itu mematikan rokoknya yang sudah habis dan kembali menyalakan yang baru, kemudian melepaskan pijakannya dari Hokuto membiarkan pemuda itu lagi-lagi mencium langsung bau dari tembakau yang langsung keluar dari mulut Taiga.
Namun, perbedaannya sekarang adalah ketika asap dari tembakau itu masih mengepul layaknya gulungan, Taiga segera menarik Hokuto agar mereka sepantaran kemudian menempelkan kedua bibirnya membuat kedua mata Hokuto yang sudah kotor itu terbelalak. Dia terkejut ketika merasakan sebuah rasa di bibir yang memuakkan, rasa manis tapi juga pahit yang membuat Hokuto ingin terus berada dalam posisi saat itu tapi disaat yang bersamaan menarik diri juga, asap rokok di antara mereka perlahan keluar ketika terjebak selama dua detik di dalam mulut yang tertutup rapat.
Taiga tidak membiarkan keduanya diam, dia menggerakkan bibir merasakan tanah, lumpur dan juga darah yang tidak kalah menjijikkan dari rasa rokoknya sendiri ketika ia satukan dengan mulutnya Hokuto. Tiga rasa tanah, darah dan juga tembakau mendominasi ciuman mereka berdua, masing-masing tidak mau kalah dalam berciuman dan secara mengejutkan pun bagi Taiga ketika dia tahu bahwa ternyata Hokuto bukanlah seorang culun belaka yang tidak paham bagaimana cara berciuman.
Rasa sebagai aftertaste dalam bibir Taiga perlahan menjadi rasa favorit dari Hokuto dan dia rasa jika dirinya memiliki kesempatan lain untuk melakukan hal ini, maka dengan senang hati Hokuto lakukan seraya dia akan menyedot kedua bibir itu sampai membengkak kalau bisa.
“Cukup.” Taiga mendorong Hokuto cukup keras tapi tidak sampai dia tersungkur, tangannya yang kotor karena tadi sempat memegang kemeja Hokuto itu mengusap ujung bibir yang tersisa saliva entah milik siapa menyadarkan Hokuto bahwa dia pun sama memiliki saliva tersebut di ujung bibirnya.
Sebuah seringai terlihat di bibir Taiga, mereka yang hanya berbeda beberapa senti saja itu perlahan Taiga dekatkan kembali wajah tapi kali ini dengan menarik rambut Hokuto ke belakang untuk melihat wajah pemuda itu lebih jelas. “Huh, salah aku menilaimu.”
Bukannya marah, Hokuto pun tak berani untuk menyentuh Taiga dengan tangannya yang kotor, dia hanya memaksa agar dirinya bisa setidaknya tidak perlu mendongak hanya agar dapat bertatapan langsung dengan Taiga. “Eh, aku jadi penasaran penilaianmu sekarang bagaimana, Tuan Kyomoto.”
Kedua mata Taiga mengerjap mendengar itu tapi dia masih memberikan senyuman miring selanjutnya, melepaskan cengkraman pada rambut Hokuto dan kembali ke tempat sebelumnya untuk kembali menyalakan rokok ketiga, persetan dengan aturan sekolah dan dirinya yang masih di bawah umur untuk merokok. Merundung Hokuto saja sudah menjadi sebuah pelanggaran berat kenapa dia harus berpikir seperti itu sekarang?
“Cukup datang setiap kali aku perintahkan kau datang maka kau akan tahu penilaianku.”
Kekehan tanpa suara terdengar dari Hokuto, “Bahkan tanpa dibilang pun jawabanku sudah pasti iya.”